Potensi Minyak Jelantah untuk Masa Depan Energi Bersih
- account_circle online tri3news
- calendar_month 19 jam yang lalu
- visibility 8
- comment 0 komentar

Tangerang Selatan – Minyak jelantah merupakan limbah bernilai tinggi apabila dikelola dengan baik. Sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF), minyak jelantah dapat memberikan kontribusi terhadap transisi menuju energi hijau serta membuka peluang ekonomi, baik pada tingkat lokal maupun global.
Hal ini disampaikan oleh beberapa narasumber dari Postdoctoral di Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), maupun dari luar BRIN, dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Sustainable Used Cooking Oil Supply Chain for Sustainable Aviation Fuel (SAF): Technological Innovation, Social Synergy, and LCA Analysis’, secara luring maupun daring pada Rabu (16/04).
Postdoctoral di PRSPBPDH BRIN tahun 2023-2025, Arif Rahman menyampaikan paparan tentang pentingnya keberlanjutan dalam produksi SAF guna mengurangi emisi gas rumah kaca, menurunkan ketergantungan pada bahan bakar fosil, mendorong ekonomi sirkular, menekan polusi udara lokal, mendukung pembangunan berkelanjutan, serta memenuhi regulasi dan tuntutan pasar.
Arif mengatakan, industri penerbangan global sendiri telah menetapkan target netral karbon pada tahun 2050, yakni sebesar 21,2 gigaton. Salah satu strategi yang ditempuh untuk mencapai target tersebut adalah beralih dari bahan bakar fosil, yaitu aftur, ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan yang dikembangkan melalui Sustainable Aviation Fuel (SAF).
“Hasil kajian dari Life Cycle Assessment (LCA) memberikan dasar ilmiah untuk mengambil keputusan, terkait pengembangan kebijakan, investasi, dan inovasi teknologi dalam produksi SAF yang efektif menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan,” ujar Arif.
Dalam kesempatan tersebut, Philippe Micone dari PT Noovoleum Indonesia Investama memberikan contoh studi kasus kotak penampung minyak jelantah bermerek Pertamina yang merupakan inisiatif dari Pertamina Patra Niaga dan dimulai pada 21 Desember tahun lalu. Saat ini, inisiatif tersebut telah berhasil diterapkan di sembilan lokasi, dengan target mencapai 300 lokasi pada akhir tahun ini.
Philippe menjelaskan bahwa kerja sama dengan Pertamina berjalan cukup sukses karena masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan tersebut, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menyetorkan minyak jelantah melalui kotak-kotak bermerek yang telah ditempatkan di lokasi strategis. Rata-rata, setiap kotak mampu mengumpulkan lebih dari satu ton minyak goreng bekas per bulan, yang sebagian besar berasal dari produsen kecil. Selain itu, integrasi aplikasi ke dalam MyPertamina memberikan pengalaman yang mudah, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat karena prosesnya langsung antara individu dan mesin.
“Kami akan bekerja sama dengan BRIN untuk menjangkau masyarakat, meningkatkan kesadaran, memotivasi mereka agar datang. Kami akan mendaur ulang minyak yang mereka miliki, serta menghitung berapa banyak emisi CO₂ yang berhasil kita kurangi dari kegiatan ini,” ujar Philippe.
Sementara itu, Oki Muraza dari PT Pertamina (Persero) mengatakan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, sehingga memiliki potensi UCO turunan sawit yang besar. Populasi dan budaya kuliner Indonesia, dengan populasi 276 juta dan tradisi makan gorengan yang kuat menghasilkan UCO dalam volume tinggi dari rumah tangga, restoran dan industri makanan.
“Kita perlu memiliki ekosistem yang terintegrasi di Indonesia, mulai dari pengadaan bahan bakunya, kemudian kemampuan kita untuk memproduksi di kilang terbaru. Perlu membangun New Energy Integrated Terminal (NIT) Sustainable Aviation Fuel (SAF) di Indonesia agar kita bisa memiliki kemampuan ekspor. Kita sedang merencanakan untuk menyuplai ke bandara Denpasar dan Cengkareng, harapannya nanti kita bersama dengan Pelita Airllines, Garuda, dan maskapai lainnya untuk dapat membuat ekosistem SAF di tanah air,” jelasnya.
Senada dengan hal itu, Sigit Setiawan dari PT Pertamina Patra Niaga mengatakan, Pertamina telah memiliki sarana dan prasarana yang telah mapan di seluruh rantai nilai bisnis, yang masing-masing akan memiliki peran dalam pengembangan bisnis bahan bakar pesawat berkelanjutan (SAF).
“Perlu adanya sertifikasi pada setiap jenis dan tahapan mulai dari sisi hulu yaitu pengumpulan minyak jelantah baik perusahaan atau badan usaha, tahap pengolahan di kilang, hingga tahap distribusi, penyimpanan, dan penjualan yang ditangani oleh Pertamina Patra Niaga perlu dilengkapi dengan sertifikasi International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Hal ini diperlukan sebagai bentuk tanggung jawab atas emisi yang dihasilkan,” jelasnya.
Selanjutnya Matias Tumanggor dari Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah (APJETI) mengharapkan adanya regulasi harga dari pemerintah agar ada ketetapan harga bagi para pengumpul minyak jelantah secara langsung kepada pihak produsen. “Oleh karena belum ada regulasi seringnya terancam oleh aparat dilapangan yang selalu dituduh melakukan penyalahgunaan,” imbuhnya.
Narasumber lainnya, Setiady Goenawan dari Asosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI)mengatakan, SIMIJEL telah bekerja sama dengan Veriflux dalam memastikan data ketertelusuran yang disimpan dapat sinkron dan diakui oleh Environtmental Protection Agency (EPA) Uni Eropa. AEMJI sendiri telah mendukung kegiatan ekspor minyak jelantah selama 17 tahun ke berbagai negara seperti negara-negara di Eropa, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. (Humas BRIN/R2)